Sabtu, 12 Maret 2011

Artikel Pendidikan


Teknologi dan Pembelajaran Multimedia

A. TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN
Perkembangan dunia dewasa ini sarat dengan kemajuan teknologi yang luar biasa. Media massa maupun internet sudah sangat terbuka lebar. Berbagai informasi dunia seakan tanpa batas, bisa dilihat dan disaksikan dari mana saja. Jika kita ingin mencari informasi apapun tinggal “klik” saja di internet, maka kita akan dapatkan itu. Dari informasi yang bernuansa keilmuan, gosip, keuangan, pendidikan dan informasi-informasi lain.
Kemajuan informasi yang luar biasa ini, mau tidak mau akan berpengaruh ke semua aspek kehidupan masyarakat, baik politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Pengaruh ini juga merambah ke semua kalangan baik anak-anak sampai tua renta baik yang ada di pinggiran maupun di perkotaan. Berkembangnya tuntuan reformasi dan transparansi yang semakin kuat, makin menjadikan teknologi informasi berkembang semakin pesat. Ibarat gelombang laut yang tak bisa dibendung.
Terlepas dari pro dan kontra dampak penggunaan teknologi, sekolah sebagai salah satu lingkungan pendidikan formal pendidikan sepatutnya mampu memanfaatkan teknologi untuk mempercepat tercapainya tujuan pendidikan. Seperti banyak pakar pendidikan berpendapat, bahwa pendidikan adalah upaya membebaskan potensi siswa secara optimal baik ranah kognitif, afektif maupun psikomotorik.
Dalam dunia pendidikan untuk mengoptimalkan potensi anak didik dapat dilakukan dengan dua paradigma. Paradigma yang pertama adalah paradigma konvensional yang bersumber pada teori belajar ”tabula rasa” John Locke. Locke menyatakan bahwa dalam pembelajaran anak diibaratkan seperti mengisi botol kosong. Guru diibaratkan sebagai pengisi botol dengan ilmu pengetahuan, sedangkan murid diibaratkan sebagai botolnya. Atau menurut tokoh pendidikan lain Paulo Freire, menyatakan bahwa paradigma konvensional dianalogikan sebagai sistem atau gaya bank. Guru diibaratkan penabungnya dan murid adalah ”celengan”nya.
Cara konvensional ini lebih menitikberatkan sistem monolog dimana guru selama berjam-jam berbicara di depan kelas dan mirid harus duduk diam mendengarkan. Sisi negatif dari cara ini adalah terciptanya manusia yang tidak punya nyali untuk mengajukan pertanyaan maupun pendapat, tidak kreatif dan kurang mandiri. Walau paradigma ini banyak dikritisi para ahli pendidikan, namun banyak sekolah di Indonesia masih menerapkan sistem ini. Ada banyak alasan mengapa cara ini terus dipakai, seperti : jumlah siswa terlalu banyak, kurangnya sarana prasarana dan banyak alasan lainnya.
Paradigma ke dua adalah paradigma baru yang saat ini sejumlah negara maju coba terapkan. Paradigma ini mendasarkan diri pada filsafafat konstruktivisme. Para tokoh yang mendukung paradigma ini berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk secara pribadi oleh siswa. Siswa yang mencari, mengolah dan membentuk konsep sendiri. Tanpa rekonstruksi konsep, siswa tidak akan menjadi tahu dan paham terhadap sesuatu. Dalam paradigma ini guru ataupun pengajar bertindak sebagai fasilitator dan moderator. Tujuannya adalah merangsang dan membantu siswa untuk mampu dan mau belajar serta merumuskan pengertiannya sendiri.
Dalam penerapan paradigma konstruktivisme inilah teknologi informasi dapat dijadikan sarana penunjang pembelajaran di sekolah. Dengan memanfaatkan berbagai media teknologi informasi, seperti : internet, video, TV, dan media lainnya, siswa akan lebih mudah mencari, menganalisa dan merekonstruksi konsep yang ia bentuk.  Misalnya siswa akan merekonstruksi materi budaya, maka siswa dapat menggunakan berbagai media tersebut sehingga siswa dapat merumuskan arti dan makna budaya lebih cepat. Relevansi penggunaan media teknologi informasi dalam memudahkan pemahaman siswa didukung oleh pandangan Vernon A. Magneson, yang berpandangan bahwa :
Kita belajar dengan :
10% dari apa yang kita baca
20% dari apa yang kita dengar
30% dari apa yang kita lihat
50% dari apa yang kita lihat dan dengar
70% dari apa yang kita katakan
90% dari apa yang dita katakan dan lakukan.
Dari pandangan Vernon A. Magnesen tersebut, pembelajaran dengan penggunaan media visual, audio dan kinestik mampu meningkatkan hasil belajar lebih dari 20%. Jika dibandingkan dengan sistem konvensional yang menonjolkan apa yang didengar saja, dan itu hanya menghasilkan 10% - 20% hasil belajar.

B. METODE PEMBELAJAN MULTIMEDIA
Ditinjau dari segi komunikasi, situasi di dalam kelas sudah merupakan dunia komunikasi sendiri. Antara guru dan murid akan selalu tukar-menukar dan mengembangkan ide serta pengertian. Guru memegang peranan dalam mengontrol efektivitas dan efisiensi komunikasi yang sedang berlangsung. Meskipun demikian, komunikasi sering mengalami hambatan karena menjurus ke arah verbalisme, sehingga mengurangi kegairahan murid, di samping kekurangsiapan murid sendiri. Kalau terjadi hal yang demikian, mengakibatkan komunikasi yang seharusnya dua arah, berubah menjadi komunikasi satu arah. Akibatnya dalam proses belajar mengajar menjadi tidak efektif dan efisien dalam upaya membangkitkan daya penalaran siswa. Peranan siswa  menentukan keberhasilannya, karena peningkatan daya nalar akan sangat berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian siswa.
Pada masa sekarang, upaya pembaharuan dalam pendidikan lebih ditekankan kepada proses belajar mengajar di kelas. Masalah proses belajar mengajar kalau dahulu lebih ditekankan melalui bentuk kata-kata, sehingga menjurus ke arah verbalisme, kemudian orang mulai berfikir ke arah diperlukannya alat bantu pembelajaran yang bersifat audio visual, seperti gambar-gambar, film bersuara, radio dan televisi.
Penggunaan alat audio visual seperti tersebut, ditujukan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi proses belajar mengajar, sehingga diharapkan anak-anak mampu mengembangkan daya nalar dan daya rekanya. Hasil berbagai penelitian menunjukkan bahwa proses belajar mengajar dengan menggunakan sarana audio visual mampu meningkatkan efisiensi pembelajaran 20% - 50%.
Sebenarnya proses pembelajaran audio visual telah manusia lakukan sejak kecil. Sebagai contoh, seorang anak diajak ibunya berbelanja ke pasar, membantu memasak di dapur, membantu ayahnya bekerja di ladang dan masih banyak lagi kegiatan yang dilakukan. Semua itu merupakan bimbingan secara langsung dengan sarana audio visual.
Memang, dengan sering melihat secara langsung kegiatan yang dilakukan orang tua, anak lebih mudah menerima dan akan menambah pengalaman. Dan pengalaman itu akan membantu perkembangan anak selanjutnya. Pengalaman itu menambat pengetahuan, karena manusia 75% didapatkan melalui indera penglihatan dan 25% di dapatkan melalui indera pendengaran.
Pelajaran yang didapat dengan bentuk kata-kata akan sulit dibayangkan, apalagi kalau tidak ada hubungannya dengan pengalaman yang dimiliki sebelumnya. Pelajaran itu akan mudah terlupakan. Lain halnya apabila seorang anak melihat televisi. Dimana di televisi itu telah tergambar jelas informasi-informasi yang mendukung. Hal ini akan mudah diingat oleh anak tersebut.[1]
Audio visual sangat membantu proses belajar mengajar sebab dengan alat tersebut siswa dapat melakukan pengamatan lebih cermat lagi dan melalui pengamatan  akan mendapat kesan yang mendalam. Kesan yang mendalam akan memudahkan untuk mengingat kembali sehingga mudah menimbulkan fantasi anak. Demikian pula pengalaman yang didapat melalui pengamatan sangat membantu memperoleh perbendaharaan pengetahuan yang lebih luas yang akhirnya akan mengembangkan cara berfikir anak. Hal itu akan berpengaruh terhadap tingkah lakunya dan menumbuhkan gejalan kejiwaan yang mendorong untuk melakukan suatu perbutan dan akan membantu kreativitas siswa.

C. KEBERHASILAN PROSES BELAJAR MENGAJAR
Untuk menyatakan bahwa suatu pembelajaran dapat dikatakan berhasil, setiap guru memiliki pandangan masing-masing sejalan dengan filosofinya. Namun, untuk menyamakan persepsi sebaiknya berpedoman pada kurikulum yang berlaku saat ini yang telah disempurnakan antara lain bahwa ”suatu proses belajar mengajar tentang suatu bahan pengajaran dinyatakan berhasil apabila tujuan yang direncakan dalam silabus atau rencana pembelajaran tersebut tercapai, atau sesuai dengan standar ketuntasan.
Untuk mengetahui tercapai tidaknya standar ketuntasan yang telah dirumuskan, guru mengadakan tes formatif setiap selesai menyajikan satu satuan bahasan kepada siswa. Penilaian formatif ini untuk mengetahui sejauh mana siswa telah menguasai bahan pengajaran itu atau tidak. Fungsi penilaian ini adalah untuk memberikan umpan balik kepada guru dalam rangka memperbaiki proses belajar mengajar dan melaksanakan program remedial bagi siswa yang belum berhasil.
Indikator yang dijadikan sebagai  tolak ukur dalam menyatakan bahwa suatu pembelajaran berhasil berdasarkan ketentuan kurikulum adalah :
1.      Daya serap terhadap bahan pengajaran yang diberikan
2.      Perilaku yang digariskan dalam tujuan pendidikan yang dirumuskan.
Namun, yang banyak dijadikan sebagai tolak ukur keberhasilan keduanya ialah daya serap siswa terhadap pelajaran melalui nilai yang diperoleh dalam ter formatif yang dibuat.[2]













[1]  Darwanto Sastro Subroto, Televisi sebagai media pendidikan, Duta Wacana University Press: Jojakarta, 1992 hal 70-72
[2] Op. cit. Drs Moh. Uzer Usman dan Dra Lilis Setiawati, hal 7-8.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar