Membaca di Sekolah |
Kualitas manusia diperlukan juga dalam meghadapi era
globalisasi. Persaingan bebas dapat menjadi “momok” yang menkautkan bagi bangsa
kita kalau tidak diimbangi dengan kualitas manusia yang memadai. Sehingga
kualitas manusia merupakan hal penting digarap. Agar bangsa kita tidak
terpinggirkandari kanncah persaingan internasional.
Salah satu usaha meningkatkan kualitas manusia atau bangsa
adalah dengan membaca. Membaca merupakan kegiatan untuk menyerap berbagai
informasi dan pengetahuan yang ada dalam buku. Dengan banyak membaca menjadikan
orang memperoleh banyak informasi dan pengetahuan. Dan sebaliknya, kalau orang
tidak pernah membaca akan miskin informasi dan pengetahuan yang berkembang sat
ini.
Disadari atau tidak di dalam bukuterdapat berbagai pengetahuan
yang dapat memperkaya wawsan dan daya nalar seseorang. Kekayaan dan daya nalar
yang dapat digunakan untuk menemukan dan memecahkan masalah yang dihadapi
masyarakat. Sehingga dengan membaca orang bisa menjadi kritis dan tanggap
terhadap berbagai perubahan yang terjadi di sekitarnya.
Tetapi sayang ketika kita melihat realitas di masyarakat.
Membaca merupakan kegiatan yang langka. Jarang sekali kita temui orang yang
menjadikan membaca sebagai kegitan rutin, terutama generasi muda. Sehingga hal
yang ironis, kegiatan yang begita penting dalam kehidupan manusia dilewatkan
begitu saja.
Hampir boleh dikatakan peradaban manusia dibentuk oleh
buku-buku. Newton mengubah pikiran segala bangsa yang beradab ketika ia menulis
“Principia”nya, demikian juga Darwin, dengan buku “origin of sepecies”nya. Adam
smith berjasa dalam pemikiran ekonomi ketika ia menulis buku “The Wealth of
Nation” sebagai asas-asas perdagangan. Bahkan Thomas Alva Edison diajar membaca
buku tentang suatu soal oleh ibunya, lalu mengadakan percobaan-percobaan dari
titik dimana buku-buku tidak memberitahukan lebih jauh. Itulah sebabnya ia
mendapat begitu banyak sukses. Tak pernah seseuatu yang sudah ditemukannya,
ditemukan oleh orang lain.
Untuk itu kebiasaan membaca perlu dibudayakan dalam masyarakat.
Tanpa kebiasaan atau budaya membaca kemajuan bangsa akan sulit diwujudkan.
Apalagi dalam perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang sangat pesat.
Budaya membaca di sekolah
Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan masyarakat
merupakan tempat yang sangat strategis untuk mendidik anak punya budaya
membaca. Karena di sekolah terjadi proses belajar mengajar yang berlangsung
dalam situasi edukatif dan ilmiah. Di sini terjadi serangkaian perbuatan guru
dan siswa dalam pembentukan dan pengembangan potensi anak. Sehingga wajar
sekolah di cap menjadi gudang orang-orang yang mempunyai budaya membaca.
Akan tetapi fenomena yang terjadi, jauh dari harapan.
Sekolah yang seharusnya menjadi “gudang” orang-orang yang punya budaya membaca
mengandung masalah yang sama. Jarang anak sekolah yang menjadikan membaca
sebagai kebiasaan. Bila anak-anak mereka membaca, mereka lebih suka membaca
komik atau majalan yang kurang bermutu daripaka buku-buku berkualitas.
Ada beberapa sebab budaya membaca belum melembaga disekolah
: pertama, murid menganggap guru sebagai satu-satunya sumber kebenaran dan
pengetahuan. Guru dianggap pemegang absolud kebenaran dan pengetahuan. Kalau
guru sudah bilang A maka semua murid harus menerima kebenaran dan pengetahuan
itu adalah A.
Kedua, lemahnya kemauan da kemampuan murid untuk mencari
sumber-sumber pengetahuan yang memperkaya bahan ajar di kelas. Murid lebih suka
mengandalkan catatan dari guru. Kalaupun murid membaca dan mencari buku, itu
karena tugas yang diberikan guru kepada mereka.
Ketiga, tidak ada teladan yang diberikan guru. Guru sendiri
malas untuk belajar. Banyak guru merasa pengetahuan yang telah diterimanya
telah cukup sehingga malas untuk belajar lagi, terutama lewat membaca buku.
Keempat, guru tidak menciptakan suasana di kelas yang menunjang. Kebanyakan
pola pengajaran di sekolah berupa monolog, pola yang cenderung oleh anak tidak
dihargai sesuai bakat dan potensinya. Anak menjadi tidak berani mengambil
resiko, terutama dalam menentukan pendapat dan keputusan yang berkaitan dengan
dirinya. Pola ini melahirkan kecenderungan guru tidak percaya pada kemampuan
anak. Sehingga, pandangan atau pendapat anak yang didapat dari buku tidak dapat
tersalurkan ke dalam nuansa kelas yang serba demokratis dan penuh keterbukaan.
Dalam pola semacam ini, kreatifitas dan kemandirian anak benar-benar
terberangngus. Potensi anak tidak bisa dikembangkan secar optimal.
Hal ini menuntut pengembalian sekolah sebagai “gudang”
budaya membaca. Sekolah harus menjadi pusat dan pilar kegiatan membaca buku.
Dan anak menjadikan kegiatan membaca merupakan suatu kewajiban.
Memang tidak mudah mengubah
pola atau budaya lama yang sudah melembaga, untuk diubah menjadi pola
baru. Pasti muncul suatu benturan
sistem. Namun, pembudayaan pola baru harus dilaksanakan. Kalau tidak kondisi
masyarakat tidak akan menjadi lebih baik. Di sinilah peran unsur-unsur
pendidikan di sekolah untuk bahu-membahu membentuk pola baru yang lebih baik.
Salah satu unsur pendidikan di sekolah yang mempunyai peran
besar membentuk budaya membaca adalah guru. Guru adalah pemegang utama proses
belajar mengajar di sekolah. Guru adalah pemegang utama proses belajar mengajar
di sekolah. Guru adalah orang yang bertanggung jawab langsung untuk mewujudkan
bahan ajar yang direncanakan menjadi kegiatan nyata di sekolah. Dan pelembagaan
membaca menuntut peran utama guru.
Peran yang bisa dimainkan guru antara lain : pertama, guru
harus mengubah pola mengajar yang selama ini dilakukan. Pola mengajar yang cenderung monolog harus diubah ke pola
baru yang lebih mengedepankan pemberdayaan potensi siswa. Pola yang sesuai
untuk ini adalah pola dialog. Pola ini diharapkan bisa menjadi stimulus anak
untuk dapat mengembangkan informasi dan pengetahuan yang dipunyainya.
Kedua, guru mampu memberikan teladan kepada murid untuk
mengembangkan hasrat belajar, terutama dengan membaca buku. Learning capability
atau kapasitas belajar harus dikembangkan. Ketiga, guru mengusahakan suatu
lingkungan belajar sesuai dengan perkembangan anak. Dalam hal ini guru
berfungsi sebagai fasilitator belajar. Sebagai fasilitator belajar, guru
berdiri di belakang siswa, membimbing anak untuk membiasakan kegiatan membaca.
Keempat, guru membiasakan berbagai kegiatan belajar yang bersangkut paut dengan
buku. Baik itu dalam kegiatan intra maupun ekstrakurikuler. Hal ini harus
didukung oleh unsur pendidikan lain.
Unsur pendidikan laindi sekolah yang berpengaruh adalah
perpustakaan. Rendahnya budaya membaca di kalangan sekolah tidak lepas dari
rendahnya minat anak untuk pergi ke perpustakaan. Perpustakaan –sebagai tempat
kumpulan buku-buku- belum dioptimalkan fungsinya. Jarang anak-anak sekolah dan
guru mau menghabiskan waktu untuk membaca buku di perpustakaan. Dan lagi anak
sulit menemukan buku-buku yang berkualitas dan up to date. Sehingga, pengadaan
buku menjadi masalah yang penting dalam usaha meningkatkan budaya membaca.
Memang untuk membudayakan kebiasaan membaca tidak mudah.
Anak lebih suka menghabiskan waktu di depan telivisi dari pada berjam-jam
bergelut dengan buku. Oleh karena itu dukungan dari lingkungan pendidikan lain
yakni keluarga dan masyarakat sangat diharapkan. Ketiga lingkungan pendidikan
harus berperan dan bekerja bersama-sama. Sehingga tujuan pembudayaan membaca
bagi anak dapat tercapai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar