Rabu, 02 Mei 2012

Budaya membaca dan Sekolah*


Membaca di Sekolah
Kualitas manusia sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional. Sehingga wajar apabila pencapaian kualitas manusia dilakukan dengan berbagai upaya.  Dengan mengoptimalkan semua yang dimiliki bangsa baik materiil maupun imateriil.
Kualitas manusia diperlukan juga dalam meghadapi era globalisasi. Persaingan bebas dapat menjadi “momok” yang menkautkan bagi bangsa kita kalau tidak diimbangi dengan kualitas manusia yang memadai. Sehingga kualitas manusia merupakan hal penting digarap. Agar bangsa kita tidak terpinggirkandari kanncah persaingan internasional.
Salah satu usaha meningkatkan kualitas manusia atau bangsa adalah dengan membaca. Membaca merupakan kegiatan untuk menyerap berbagai informasi dan pengetahuan yang ada dalam buku. Dengan banyak membaca menjadikan orang memperoleh banyak informasi dan pengetahuan. Dan sebaliknya, kalau orang tidak pernah membaca akan miskin informasi dan pengetahuan yang berkembang sat ini.
Disadari atau tidak di dalam bukuterdapat berbagai pengetahuan yang dapat memperkaya wawsan dan daya nalar seseorang. Kekayaan dan daya nalar yang dapat digunakan untuk menemukan dan memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Sehingga dengan membaca orang bisa menjadi kritis dan tanggap terhadap berbagai perubahan yang terjadi di sekitarnya.
Tetapi sayang ketika kita melihat realitas di masyarakat. Membaca merupakan kegiatan yang langka. Jarang sekali kita temui orang yang menjadikan membaca sebagai kegitan rutin, terutama generasi muda. Sehingga hal yang ironis, kegiatan yang begita penting dalam kehidupan manusia dilewatkan begitu saja.

Hampir boleh dikatakan peradaban manusia dibentuk oleh buku-buku. Newton mengubah pikiran segala bangsa yang beradab ketika ia menulis “Principia”nya, demikian juga Darwin, dengan buku “origin of sepecies”nya. Adam smith berjasa dalam pemikiran ekonomi ketika ia menulis buku “The Wealth of Nation” sebagai asas-asas perdagangan. Bahkan Thomas Alva Edison diajar membaca buku tentang suatu soal oleh ibunya, lalu mengadakan percobaan-percobaan dari titik dimana buku-buku tidak memberitahukan lebih jauh. Itulah sebabnya ia mendapat begitu banyak sukses. Tak pernah seseuatu yang sudah ditemukannya, ditemukan oleh orang lain.
Untuk itu kebiasaan membaca perlu dibudayakan dalam masyarakat. Tanpa kebiasaan atau budaya membaca kemajuan bangsa akan sulit diwujudkan. Apalagi dalam perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang sangat pesat.
Budaya membaca di sekolah
Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan masyarakat merupakan tempat yang sangat strategis untuk mendidik anak punya budaya membaca. Karena di sekolah terjadi proses belajar mengajar yang berlangsung dalam situasi edukatif dan ilmiah. Di sini terjadi serangkaian perbuatan guru dan siswa dalam pembentukan dan pengembangan potensi anak. Sehingga wajar sekolah di cap menjadi gudang orang-orang yang mempunyai budaya membaca.
Akan tetapi fenomena yang terjadi, jauh dari harapan. Sekolah yang seharusnya menjadi “gudang” orang-orang yang punya budaya membaca mengandung masalah yang sama. Jarang anak sekolah yang menjadikan membaca sebagai kebiasaan. Bila anak-anak mereka membaca, mereka lebih suka membaca komik atau majalan yang kurang bermutu daripaka buku-buku berkualitas.
Ada beberapa sebab budaya membaca belum melembaga disekolah : pertama, murid menganggap guru sebagai satu-satunya sumber kebenaran dan pengetahuan. Guru dianggap pemegang absolud kebenaran dan pengetahuan. Kalau guru sudah bilang A maka semua murid harus menerima kebenaran dan pengetahuan itu adalah A.
Kedua, lemahnya kemauan da kemampuan murid untuk mencari sumber-sumber pengetahuan yang memperkaya bahan ajar di kelas. Murid lebih suka mengandalkan catatan dari guru. Kalaupun murid membaca dan mencari buku, itu karena tugas yang diberikan guru kepada mereka.
Ketiga, tidak ada teladan yang diberikan guru. Guru sendiri malas untuk belajar. Banyak guru merasa pengetahuan yang telah diterimanya telah cukup sehingga malas untuk belajar lagi, terutama lewat membaca buku. Keempat, guru tidak menciptakan suasana di kelas yang menunjang. Kebanyakan pola pengajaran di sekolah berupa monolog, pola yang cenderung oleh anak tidak dihargai sesuai bakat dan potensinya. Anak menjadi tidak berani mengambil resiko, terutama dalam menentukan pendapat dan keputusan yang berkaitan dengan dirinya. Pola ini melahirkan kecenderungan guru tidak percaya pada kemampuan anak. Sehingga, pandangan atau pendapat anak yang didapat dari buku tidak dapat tersalurkan ke dalam nuansa kelas yang serba demokratis dan penuh keterbukaan. Dalam pola semacam ini, kreatifitas dan kemandirian anak benar-benar terberangngus. Potensi anak tidak bisa dikembangkan secar optimal.
Hal ini menuntut pengembalian sekolah sebagai “gudang” budaya membaca. Sekolah harus menjadi pusat dan pilar kegiatan membaca buku. Dan anak menjadikan kegiatan membaca merupakan suatu kewajiban.
Memang tidak mudah mengubah  pola atau budaya lama yang sudah melembaga, untuk diubah menjadi pola baru. Pasti muncul suatu  benturan sistem. Namun, pembudayaan pola baru harus dilaksanakan. Kalau tidak kondisi masyarakat tidak akan menjadi lebih baik. Di sinilah peran unsur-unsur pendidikan di sekolah untuk bahu-membahu membentuk pola baru yang lebih baik.
Salah satu unsur pendidikan di sekolah yang mempunyai peran besar membentuk budaya membaca adalah guru. Guru adalah pemegang utama proses belajar mengajar di sekolah. Guru adalah pemegang utama proses belajar mengajar di sekolah. Guru adalah orang yang bertanggung jawab langsung untuk mewujudkan bahan ajar yang direncanakan menjadi kegiatan nyata di sekolah. Dan pelembagaan membaca menuntut peran utama guru.
Peran yang bisa dimainkan guru antara lain : pertama, guru harus mengubah pola mengajar yang selama ini dilakukan. Pola mengajar  yang cenderung monolog harus diubah ke pola baru yang lebih mengedepankan pemberdayaan potensi siswa. Pola yang sesuai untuk ini adalah pola dialog. Pola ini diharapkan bisa menjadi stimulus anak untuk dapat mengembangkan informasi dan pengetahuan yang dipunyainya.
Kedua, guru mampu memberikan teladan kepada murid untuk mengembangkan hasrat belajar, terutama dengan membaca buku. Learning capability atau kapasitas belajar harus dikembangkan. Ketiga, guru mengusahakan suatu lingkungan belajar sesuai dengan perkembangan anak. Dalam hal ini guru berfungsi sebagai fasilitator belajar. Sebagai fasilitator belajar, guru berdiri di belakang siswa, membimbing anak untuk membiasakan kegiatan membaca. Keempat, guru membiasakan berbagai kegiatan belajar yang bersangkut paut dengan buku. Baik itu dalam kegiatan intra maupun ekstrakurikuler. Hal ini harus didukung oleh unsur pendidikan lain.
Unsur pendidikan laindi sekolah yang berpengaruh adalah perpustakaan. Rendahnya budaya membaca di kalangan sekolah tidak lepas dari rendahnya minat anak untuk pergi ke perpustakaan. Perpustakaan –sebagai tempat kumpulan buku-buku- belum dioptimalkan fungsinya. Jarang anak-anak sekolah dan guru mau menghabiskan waktu untuk membaca buku di perpustakaan. Dan lagi anak sulit menemukan buku-buku yang berkualitas dan up to date. Sehingga, pengadaan buku menjadi masalah yang penting dalam usaha meningkatkan budaya membaca.
Memang untuk membudayakan kebiasaan membaca tidak mudah. Anak lebih suka menghabiskan waktu di depan telivisi dari pada berjam-jam bergelut dengan buku. Oleh karena itu dukungan dari lingkungan pendidikan lain yakni keluarga dan masyarakat sangat diharapkan. Ketiga lingkungan pendidikan harus berperan dan bekerja bersama-sama. Sehingga tujuan pembudayaan membaca bagi anak dapat tercapai.


* artikel ini pernah diterbitkan di koran Mitra Dialog, Kamis 17 April 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar